www.diansastro.20m.com About Biography Photo Poems Tips
 

 

Kekasih sejati 

adalah ketika kamu menitikkan air mata, maka dengan kebesaran cintanya ia tetap peduli terhadapmu.

Sebuah kekuatan abadi  yang ketika kamu tidak mempedulikannya dan dia masih menunggumu dengan setia.. 

Ketulusan sejati adalah Saat Sang kekasih mulai mencintai orang lain dan dia masih bisa tersenyum sembari berkata 'Aku turut berbahagia untukmu‘…  

Hartono Beny Hidayat

 

 

Bab 1 Surat-surat cinta tanpa huruf (Tentang dia )

   www.diansastro.20m.com

Mutiara langit begitu cerah, bulan tampak begitu utuh dalam balut gelisah heningnya malam, bertabur kerlip sunyi bintang-gemintang, terlihat dikejauhan sebuah bangunan tua yang besar lagi kokoh seperti sebuah kastil, berpekarangan luas; dengan sisi-sisi dinding megahnya tampak berlumut dan berlubang akibat termakan usia.

Walaupun bangunan kokoh itu sepintas terlihat cantik dimata, namun tubuh lusuhnya seakan kurang terkucuri basuhan air kehidupan, serta usapan kasih jemari nan terampil. Itu terlihat dari beberapa daun jendela dan dinding pemantul bayang keberadaannya, yang  terlihat kusam; bahkan pada balkon dinding bagian utara ; sebuah sarang hewan penenun dan beberapa ekor hantu berjubah, sedang bergelantungan  di sudut atapnya.

Bangunan tua itu bertingkat dua, dipintu masuknya mengapit dua buah patung berbentuk malaikat kecil yang terlihat begitu indah manakala teterpa cahaya bulan. Keindahan mata dan kepak sayap kecilnya, seakan hendak menyapa ramah setiap tamu yang hendak bertandang.

Bila mata memasuki ruang keberadaan itu, tampak langit-langit bangunannya tegak menjulang bak tombak Julius Cesar dengan dinding-dindingnya yang berhias puluhan tongkat pendar cahaya api kristal.

Pada lantai bawah, pojok bagian kiri dari bangunan ini- terdapat ruang perpustakaan, sedang pada bagian tengahnya terdapat ruang perjamuan serta ruangan utama yang dimana sisi bahunya terdapat lukisan-lukisan kuno yang terggantung miring dan agak menghitam. Disepanjang anak panah tangganya, terhampar gulungan permadani merah hati nan indah, berhias mata perunggu dan guci ukir dari cina .

Sarang peraduan tersebut begitu temaram, namun terasa hening dalam hembusan damai. Ukiran jiwa dibeberapa tepian dahan cokelatnya, walau terkelupas rentang waktu namun tetap indah dalam keantikannya.

  Bila kita melengok kedalam kamar tersebut ; didapatlah sebuah kotak kayu yang memuat puluhan buku-buku -yang tersusun dengan rapihnya bagai susunan rusuk adam, sedang pada lantainya dipenuhi oleh sobekan serta lembaran kertas, yang berisi ungkapan hati sang penyair.

Ada beberapa ruangan disana; dimana salah satu kamar itu dihuni oleh seorang pemuda yang selalu termenung dan tenggelam dalam gejolak arus samudera pemikirannya. 

Bertemankan redup cahaya lilin yang bertempur dengan pekatnya malam –pada sebidang meja; dengan tumpukkan buku ditiap sisinya, terlihat sesosok pemuda sedang merenung dan menuangkan isi hatinya pada secarik kertas …

“Hari kemarin- hingga saat ini aku menulis, aku tak tahu harus kuisi dan hendak kemana surat jiwa ini kukirim. Bukankah bahasa hati tidak memerlukan rangkaian huruf, bukankah lembaran jiwa ini dapat terbaca- walau sekiranya tak ada tulisan diatasnya ?”

“Bagiku Cinta laksana buah hati yang abstrak, Pohon jiwa yang tak henti berbuah, hadirnya laksana Cahaya abadi  yang mengikis kegelapan malam. Mengubah dasar-dasar  pemikiran ,menanggalkan kesedihan , basahi keringnya dahaga jiwa , menggantinya dengan mata air surga”

“Maukah kau katakan pada Sang jiwa, apa yang telah dilihat oleh mata saat itu ?” “Dilihatnya bidadari memainkan kecapi, denting-denting cinta mengalun merdu dari lentiknya, senandungkan bait-bait kidung semesta dari balik bibir merahnya”.

“Deru nafas kelembutan dari hidungnya bak hembusan abadi yang memancar dari inti jiwa, kekuatan yang membakar diri , melebur dalam dekapan pusara nan abadi, basahi akar gersang   Jiwa-jiwa pencinta, hingga kesejatian diri  tercermin didasar hati”

“Cinta datang bersenandung dalam tangisan suka- cita , Ia datang untuk mensucikan jiwa, Ia datang atas nama- kasih semesta “,

“Manusia terjaga untuk menyambut atau memalingkan panggilan sucinya, Selalu terjaga Ia dalam pembaringannya yang getir , tertawa dan menangis ia dalam  keheningan malam yang bisu”...

“Begitulah  cinta yang pertama kali ku rasakan, ku dibuat buta olehnya, kudibuat hidup dan  terbakar oleh panas teriknya ,dialah racun yang melumpuhkan dan aku tersihir oleh keajaibannya !” 

Dalam hati seorang Pecinta, suara hati dan pesona jiwanya berawal dan berangkat dari kepedihan hatinya, dan dari kepedihannya itu; ia membalutnya dengan cinta, maka tersingkaplah selubung kegetiran jiwa lalu menggantinya dengan percikan airmata bahagia.

Dalam kesendirianku itu kudapati Cinta berbicara dengan hati lainnya dengan bahasa yang berbeda, begitu besar makna keagungan cinta seakan tak ada ungkapan yang pasti didalam melukis hakikatnya.

Saat cinta hadir didalam sanubari, ia akan berputar laksana sebuah roda, cintalah yang menghadirkan setangkup bahagia dan juga deraian airmata. Ia akan terus berputar  mengelilingi ruang-ruang hati  seakan tak memiliki awal maupun akhir didalam sebuah perjalannya. 

Cinta sejati adalah cinta yang membakar keegoan diri, laksana sebuah cawan perak yang patuh walau tertempa sebuah besi panas, pesona keindahannya-pun mampu melumerkan segala macam bentuk rantai besi yang membelenggu diri .

Hati sang pencinta akan terus berbicara dengan hati pecinta lainnya, sekalipun mata lahiriah tertutup, namun jiwa menyakini bahwasanya tak akan ada yang sanggup menutup mata hati, kecuali keagungan cinta itu sendiri.

Bumi sang terkasih , tempat dimana permadani kesejatian  menghampar- telah mengucap janji setia pada Sang penyair:

 

Wahai penyair !,

Kurelakan jiwa ini , menahan pedihnya goresan tinta yang kau toreh diwajahku,

Kubiarkan pula api,  membakari seluruh ruang jiwaku,

karena Sang  terkasihlah aku memiliki kekuatan,  dan karena ia- pulalah aku ada.

Melihat bumi kekasih tercintanya menangis, tampak bulir airmata- menetes dari pipi sang penyair,  maka keluarlah syair  pengharapan dari bibirnya yang kering  :

“Duhai bumi kekasihku !,

ada ataupun tak ada, dirimu disisi -bagiku adalah sama!

Disaat dirimu hadir, denting kecapi mengalun dihatiku.

Engkau laksana cahaya bintang yang menghiasi malam sepiku,

Takkala senyummu hadir, Sejuk terasa dihati, walau kegetiran  terasa dalam misteri...

Dibalik awan  yang mendung- kulihat matamu yang indah, memancar penuh kedamaian,  dikedalaman  jiwaku.

Ketika rintik hujan membasahi bumi,  rintiknya basahi bunga-bungaku yang bersemi didasar hati.”

***

Begitu banyak malam yang telah dilewati dan telah banyak pula racun kegelisahan telah direguknya, namun Sang pemuda sama sekali tak mengetahui hakikat dibalik kejadian itu semua, namun yang kini ia rasakan bahwa tanggannya telah terbelenggu , matanya telah buta dan bibirnya terkunci. Ia telah hanyut dalam palung samudera perenungannya, darahnyapun telah tercemar oleh racun dan juga madu pemikirannya sendiri.

 

Sejak saat itu ia lebih menyukai ketersendirian, dimanapun ada riuh keramaian,  jiwanya tetap saja merasa sunyi. Baginya bergantinya siang kemalam ataupun sebaliknya adalah sama.

“ Ketika aku mendayung bahtera jiwaku menuju kepulau ketidaktahuan , aku kembali berlabuh kedermaga jiwa dengan membawa setangkup pasir kekecewaan dan tanpa sedikitpun memahami penyebab kekecewaanku itu.

‘Kudapati bahteraku mengapung sekaligus yang tenggelam, ketika dayungku mengayun kokoh memecah ombak  bagai karang yang membelah lautan , bahteraku berlayar laksana jasad busuk yang mengapung diatas air’.

‘Disaat ku menjaring ikan-ikan tersebut, ketidakberdayaannya ketidakberdayaanku juga, kurasakan keperkasaan jaring dan ketajaman mata kail yang kupergunakan, telah membelenggu dan mengoyak-ngoyak bathinku sendiri ”

 “ Dalam perjalanan tanpa akhir, ketika segala resah merasuki dan menyelimuti diriku, aku hanya bisa menahan nafas , jiwaku merintih dan terkapar, menggigil dalam kebisuan malam. Aku hanya terdiam, aku mengharap kehadirannya merupakan suatu perjalanan “terakhir” yang singgah didermaga hatiku.

“Aku melihat ‘bahtera tua’ itu telah letih, seolah semua samudera ia telah dilintasi, seolah segala rute perjalanannya berlalu tanpa irama, melintas dan hanya melintas, tanpa ada nahkoda ataupun ataupun derai tawa bocah yang mengiringi perjalanannya”.

“Entah kenapa bahtera itu kini hanya ingin dilihat,  ia mengharap suatu saat kelak- masuk museum,  Walaupun sekiranya terkurung dalam ruang yang terbatas namun ia memiliki teman, bersama bahtera lainnya yang lebih dulu ada- mereka saling berbagi tempat dan cerita. “

Ketika aku sedang berada disebuah dermaga, aku bercerita dengan bahtera lainnya,

“Aku lelah mengangkut segala tentang ‘ada’ ataupun ‘tak ada’ dari seorang manusia”.

“Aku mengharap didepanku merupakan sebuah pelabuhan terakhir tempat dimana ku dapat beristirahat dan singgah dalam waktu lama”.

“Dalam dekapan ketersendirianku itu , Cinta hadir laksana tarikan dan hembusan nafas- kidung semesta. Bagiku Cinta adalah sebuah pengorbanan , tapi bukan untuk dikorbankan.”

“Dahaganya adalah dahaga cinta, airmatanya -mata air cinta , walaupun cinta itu harus tertatih ataupun berkalang tanah  serta binasa, maka cinta sejatilah yang bertahta”.

“Cinta adalah ramuan kesembuhan, Cinta adalah senandung hidup, disaat benih-benih cinta tumbuh subur diladang-ladang kasih Ilahi, ditanganNya- lah kehidupan dan kematiannya”

“Ada sebuah ungkapan menyatakan “Cinta datang dari mata turun kehati“, namun diri menyakini bahwa pandangan bukanlah satu-satunya jalan yang dapat menghadirkan indahnya getaran dawai kecapi cinta - yang bersenandung dalam bilik hati.”

“Bagiku Cintalah satu-satunya  -cahaya pemilik jiwa, Sang Jiwa Pencinta akan terus hidup dalam keabadian, Pemilik abadi dari berbagai ramuan dan mantra ajaib, yang dapat menyembuhkan segala duka lara”.

“Begitulah saat itu, aku sedang mabuk anggur masa muda !…..didalam kebingungan jiwa aku ciptakan kekasih khayalan bagi pasangan jiwaku , aku bercakap-cakap dengannya dikeremangan malam, dan aku hendak mengawali kisah ini dengan sebuah syair :

 

Wahai Cinta,

 Engkaulah sumber  inspirasi , yang  membuat jiwa bak seorang pelukis,

Seorang pelukis  yang tak memiliki gambaran  tentang konsep akhir dari sebuah lukisannya,

Ataupun penjabaran universal dari lukisan yang ia buat,

Namun sang pelukis memahaminya,

 sebagai karya lukis yang mengandung nilai ekstetik,

kehalusan sapuan kuas serta kombinasi ragam warnanya ,

 menciptakan sebuah keutuhan harmoni .

Dengan berbingkai akal serta sinergi kanvas kemanusiaan .

Sebuah ide kecil tercuat,

perihal “kanvas” dan sesuatu yang berada diatasnya, 

Inilah peradaban besar yang dicitakannya,

Inilah mimpi-mimpinya !

***

 “ Ketika aku mengagumi cinta , aku hanya dapat memujinya, tidak pernah hati ini berhasrat ataupun bermimpi untuk memilikinya , karena aku tetaplah jiwa yang kerdil.

‘Telah bahagia kurasakan dari kegelapanku yang getir, bila jiwaku mampu mengukir dan menghampiri keindahan , yang hakikatnya keindahan-keindahan tersebut tidaklah pernah kumiliki’...

‘Aku hanya sekedar memastikan pada jiwaku, bahwa keindahan-keindahan itu tetap ada- tetap hidup serta bersemayam dalam kesunyian jiwaku, sekiranya jiwa itu harus merangkak dalam selubung kabut kegetiran ataupun berada dalam kematian panjangnya’.

‘Duhai kekasih…dari kegelapanku yang tak bertepi dan berdasar ini kasihani dan maafkanlah jiwaku, maka ijinkanlah aku memasuki kelapangan dan kebijaksanaanmu, ijinkanlah aku meneguk  air- dari sumur jiwamu,  engkaulah terkasih!… pemilik satu-satunya tetes  air- bagi dahaga jiwa’

‘Disaat dinding jiwa ini tak memiliki kekuatan atau cahaya yang menyelimutinya , hidupku seakan-akan berada dalam kotak yang sempit, tak pernah lagi kurasakan indahnya kesegaran pagi ataupun heningnya keindahan malam’ ...

‘Bagiku bergantinya hari dari terang- menuju kegelapan adalah sama , karena hatiku telah terkunci , mataku telah buta, bibirku membisu dan ragakupun telah lumpuh oleh belenggu-belenggu yang memeluk-ku erat’....

‘Dalam sebuah rumah pengharapan -pelita bagi pembaringanku yang getir ,jiwaku terkapar sekarat, dengan sisa nafas kehidupan- kugerakkan tanganku yang lemah kearah langit, seakan-akan ada sebuah cawan air harapan serta sepasang sayap cinta yang mengangkat dan menyelamatkanku dari kegelapan ini’....

Inspirasi ku

Dikeheningan malam

disaat ku terjaga dari tidurku ,

Dirimu hadir diantara bintang-bintang  yang ingin kutemui

Kunyalakan lilin, di istana gelap hatiku

Lilin api yang berpendar cahaya kasih,

Ibunda cahaya dari segala cahaya – yang menceritakan segala tentangmu dan tentangku.

Kuambil secarik kertas

Kutulis,  lalu  kucurahkan semua yang ada dihati.

Engkaulah yang menuntun penaku agar  berbicara dengan bahasa hati

Duhai kekasih,

Kucipta puisi terindah untukmu,

Walau dirimu belum hadir sepenuhnya , namun kuyakin -hatiku dapat merasakannya ,

Getaran ghaib itu, dapatkah hati merasakannya ?!

Puisi, petikan gitar dan syair lagu..semuanya, yah semuanya yang ku-punya...

Aku mendedikasikannya untukmu ,

 Karena  Kaulah semua ini tercipta.

‘Dari ketersendirianku yang mencekam, dari malam-malam yang melintas tanpa bintang aku menggubah kembali sebuah syair kerinduanku untukmu :  

Cinta yang terlahir bersama rahasia malam,

Menghadirkan ketulusan dan keabadian cinta yang dalam,

Laksana dalamnya samudera,

setinggi bintang dan seluas angkasa,

Cinta yang kubawa adalah cinta  yang kuperas dari serat jantung dan tinta airmata ,

Menghidupi hati nan kering lalu  menjelma menjadi sebuah mata air -penghapus  kerinduan.

Keindahan yang dapat membuat seorang bahagia walau ia berada dalam selubung ketiadaan;

Membuat jiwa merasa teduh dalam damai,  sekiranya badai dalam jiwa sedang berkecamuk.

Jemari kelembutan angin malam telah menyapa mata sang pemuda , kepenatan telah memanggilnya untuk beristirahat, diatas kertas-kertas keabadian itulah, ia menyandarkan kepalanya; dibahu meja kebersahajaannya- ia merebahkan tubuh…

***

Begitulah sekilas kegiatan keseharian sang pencinta, seorang penyair lokal yang termasyur dari suku Andasia , ibundanya bernama Sekar dan ayahandanya bernama Syahbana, seorang pedagang yang berasal dari timur, ia banyak menghabiskan waktunya dengan berdagang, sehingga keluarga lebih banyak ditinggalkannya - hingga hitungan bulan bahkan tahun.

 Pemuda itu bernama Satria dilahirkan pada masa Raja Nalendra. Ia berkembang tidak sebagaimana lazimnya anak-anak yang  lain .Kehidupan masa kecilnya begitu unik. Disaat  anak-anak sebayanya senang bermain-main dengan bonekanya , maka ia lebih senang mengamati hewan dan tumbuhan yang ada ditaman. Sang ibu kerap dibuat bingung oleh ulahnya. Maka perempuan itu mendatangi tetua suku, agar anaknya dilindungi oleh ajimat yang dapat menjaganya dari berbagai bala.

Setelah berumur sembilan tahun Satria ditinggal pergi ibunya untuk selama-lamanya, dan ia diasuh oleh kenalan ayahnya. Dalam ketersendirian dan keterasingan tersebut ia hanya mencintai dua hal : yaitu menulis syair dan memadu kasih dengan kekasih khayalnya, tak pelak lagi bila tak ada waktu dan hari melintas dalam benaknya selain menuliskan bait-bait syair, yang kesemua gubahannya itu dinisbatkan kepada “Seseorang” yang selalu hadir dalam tiap perenungannya diwaktu siang serta membuatnya selalu terjaga dikala malam.

Kepada siapakah gerangan syair-syair itu ditujukan?!…Duhai betapa beruntungnya gadis yang menjadi sumber inspirasinya itu,….namun tiada seorangpun yang mengetahuinya, begitu juga dengan ayahandanya, begitu pula para kerabat dekatnya.

Mereka para handai taulan- hanya sekedar mengapresiasikannya saja, dan memaklumi berbagai ulah gilanya, sebagai bentuk perilaku seseorang yang sedang melewati masa akil baliq.

Bahkan tidak sedikit diantara tetangga ; ataupun para kerabat yang telah menuduhnya sebagai seorang yang telah lupa ingatan akibat sihir cinta.

Maka dari itu -ia pun  bersyair,  kepada mereka-mereka yang telah menganggap dirinya telah lupa ingatan, seolah duduk pekara kesemuanya itu , bersumber dari penderitaan cintanya yang tak berbalas  :

 

Bahwa  hati mempunyai bahasa yang lain ,

jiwa yang tak paham akan menganggapnya gila,

jiwa yang memiliki batas pengelihatan akan sia-sia.

Dilihatnya mata air, adakah jiwa dapat melihat nestapa air - ketika menembus kegelapan?!

Dan bukanlah kehidupan seorang penyair bila ia tidak berdiri didua sisi ketajaman mata pedang. Karena demikian besar pengaruh kewibawaan ayahandanya sajalah, yang membuat dirinya terpelihara dari fitnah serta gunjingan  masyarakat sekitarnya.

Dalam jalan kehidupan , bukan duri saja yang melintang diatas permukaannya, melainkan adapula bunga-bunga yang tumbuh subur diatas tanahnya, dan tidak sedikit pula yang memuji ,menghapal serta menulis berbagai riwayat- ratusan atau bahkan ribuan syair-syairnya , sebagai suatu bentuk cinta dan penghormatan baginya .

Kepada mereka-mereka yang memujinya secara berlebihan ia bersyair :

Lebih baik kalian melempariku duri ,

 daripada kata-kata madu - yang kelak  menikam  laksana pedang yang tajam

 Dan  aku bukanlah bintang yang menerangi gelap malam bukan pula daun kering yang berserak tertiup angin .

Aku adalah seorang pengembara yang sedang menyusuri dan mencari pelangi dibalik kabut hitam. Yang hendak kujumpai diujung harap adalah lentera jiwa, Obor kehidupan yang menerangi ditiap langkah

‘Aku berlayar dan aku pergi , mengarungi dan melintasi luasnya samudera kehidupan- bersama angin kehidupan aku berkelana ,

tetapi bukan berarti kepergianku tanpa arah tujuan’ .

 

Hartono Beny Hidayat

2001 - 2004

Home